Anak Merokok, Siapa Yang Salah ?
Oleh MuhammadHafidz
I / 11321020
18
Juni 2014
Masih segar di ingatan,
bocah bernama Sandi yang sempat menjadi perbincangan banyak orang akibat
kebiasaan yang tidak lazim di usianya yaitu merokok. Dalam video yang banyak
beredar di dunia maya, memperlihatkan jika cara merokok Sandi sudah seperti
orang dewasa. Ketika melihat video tersebut, muncul beberapa pertanyaan,
bagaimana Sandi bisa mendapatkan rokok ?, apakah orang tuanya membiarkannya ?
Sudah biasa kita
melihat sekelompok anak muda baik itu anak sekolah ataupun yang tidak
berseragam sekolah, beberapa di antara mereka pasti merokok. Yang lebih parah,
anak-anak SD dan SMP sudah banyak yang menghisap tembakau ini.
Faktor yang menyebabkan
hal ini mungkin hanya hal yang sepele. Mungkin saja berawal dari orang tua yang
sering menyuruh anaknya untuk membelikannya rokok, kemudian anak itu
bertanya-tanya mengapa orang tuanya itu suka sekali mengonsumsi rokok. Padahal
seorang anak biasanya senang meniru tingkah laku orangtua nya.
Menurut Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kemenkes
RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K) dikutip dari
http://www.depkes.go.id/, lebih dari sepertiga pelajar dilaporkan biasa
merokok, dan ada 3 di antara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada
umur di bawah 10 tahun (The Global Youth Tobacco Survey, 2006).
The Global Youth
Tobacco Survey (2006) di Indonesia 64.2% anak-anak sekolah yang disurvei
melaporkan terpapar asap rokok selama mereka di rumah atau menjadi second hand
smoke (SHS). Lebih dari 43 juta anak Indonesia tinggal dengan perokok di rumah.
Global Youth Tobacco Survey (2006) melaporkan 89% anak-anak usia 13-15 tahun
terpapar SHS di tempat-tempat umum. Anak-anak yang terpapar SHS mengalami penurunan
pertumbuhan paru, mudah terinfeksi saluran pernafasan dan telinga, dan asma.
Melihat data di atas,
terlihat jika keluarga mempunyai peran penting mengenai kebiasaan seorang anak
yang merokok. Dari kebiasaan di rumah tentunya akan menjadi kebiasaan di luar
rumah. Belum lagi pengawasan orang tua yang tidak bisa penuh selama 24 jam
menambah kemungkinan anak di bawah umur untuk merokok. Faktor lingkungan juga
mempengaruhi hal ini. Lingkungan sekolah dan bermain anak-anak juga harus
diperhatikan. Tidak jarang seorang guru merokok di depan siswa-siswanya ketika
jam istirahat ataupun pulang sekolah. Hal ini juga menjadi pemicu rasa
keingintahuan anak untuk merokok.
Melihat hal itu,
mungkin peraturan batas minimal usia perokok harus lebih diperhatikan.
Pembatasan berupa larangan mengonsumsi dan membeli rokok oleh anak di bawah
usia 18 tahun sudah sering kita lihat di iklan media massa. Namun yang terjadi
di lapangan bertolak belakang dengan iklan tersebut. Para pedagang rokok
seolah-olah tidak mempedulikan peraturan tersebut. Anak-anak dibuat mudah
mendapatkan rokok. Mudahnya anak-anak memperoleh rokok, tentunya akan memberi
pengaruh terhadap lingkungan kepada anak yang tidak merokok.
Dalam hal ini
pemerintah memang memegang peran besar. Jika pemerintah lebih tegas dalam
peraturan bukan tidak mungkin angka perokok di Indonesia akan jauh menurun.
Namun untuk mencapai hal itu pemerintah akan menemui batu yang besar, antara
lain, para produsen rokok akan melakukan protes besar, karena mengingat
keuntungan mereka akan berkurang secara drastis, dengan berkurangnya keuntungan
mereka maka nasib buruh rokok menjadi tanda tanya, bagaimana nasib para petani
tembakau.
Kebanyakan perokok
sebenarnya menyadari bahaya rokok tapi mungkin karena terlambat menyadari
sehingga mereka sudah terlanjur tercandu oleh itu, dan tidak ada niat yang kuat
berhenti. Terlambat sadarnya karena mungkin awal ia mulai mengonsumsi rokok itu
waktu kecil dan ia belum tahu apa-apa tentang bahaya rokok, dan ketika ia tahu
sudah terlambat dan dalam benaknya sudah tertanam sulit untuknya lepas dari
rokok.
Tapi keinginan berbagai
pihak untuk mengurangi jumlah perokok tidak akan terwujud tanpa kerjasama dari
berbagai pihak. Entah itu itu dari orang tua, para distributor rokok dalam arti
para penjual rokok, dan pemerintah. Karena apa bila tidak ada kerja sama dari
pihak-pihak itu mustahil akan tercapai semua itu